Rabu, 27 April 2016

TAWURAN, COY! (Part. 2)



 
TAWURAN, COY! (Part. 1) bisa dibaca disini


Yang pertama kali dibikin susah oleh anak-anak tawuran pasti orangtuanya. Masalahnya, yang dipakai buat tawuran itu peralatan punya orangtua. Misal bapaknya biasa tebang pohon, itu pas mau berangkat kerja bingung goloknya kemana. Atau yang pelihara kambing, pas mau nyari rumput celingukan juga nyari celuritnya dimana. Yang bapaknya tukang ojek pun sama, gimana coba mau narik ojek kalau gear motornya diambil anak?
Golok nggak ada karena dibawa sekolah anaknya. Terus bapaknya nebang pohon pakai apa? Pakai pulpen? Baguslah. Kenapa enggak sekalian aja bapaknya makai seragam SMA?
Emak pun enggak ketinggalan disusahin sama anak. Pas mau masak dan ngiris bawang, pisau dapur dicariin sampai ke kolong wewe pun enggak ketemu.
Pelajar Indonesia itu sebenarnya kreatif sih. Gue salut. Selain peralatan bapak dan emaknya, gesper juga bisa dipakai buat senjata. Kreatif, tapi tetap aja bloon. Lo tau kan fungsi ikat pinggang itu buat apa? Biar celana lo kencang, Men. Nah, misalnya kalau pas lagi tawuran celana lo itu melorot, enggak lucu kan?
Oke. Mungkin lo boleh menang dengan kondisi demikian. Iya, sebab musuh pada kabur karena mengira lo akan mengeluarkan “jurus ular”. Tapi kan kemenangan lo curang, Men!
Gue sering heran. Pelajar tawuran kenapa musti lempar-lemparan batu? Kenapa enggak sesekali nyoba ngelempar apa yang lebih bermanfaat gitu? Misalnya, saat-saat mendekati UN, karena kebanyakan tawuran pasti enggak sempat belajar, kan? Nah, pas mau berangkat tawuran kalian bawa deh soal-soal try out. Jadi nanti sebelum lempar-lemparan batu, kalian lempar-lemparan pertanyaan dulu. Yang jawabannya salah baru boleh dilempari.
“Rongga jantung manusia yang berfungsi untuk memompa darah mengandung O2 ke seluruh tubuh terletak di sebelah...???”
“Emmm.... Kanan kanan! Eh, kiri kiri!!”
Winggg!!! Klotakk!!!
“Loh kok dilempar?”
“Plin plan jawabnya! Rasain nih!!”
Klotakk!! klotakk!!!
“Aw! Aww! Wadawww!!!”
Ini lebih ekstrem dan pasti bikin pintar. Jadi yang kepalanya punya banyak benjol, itu tandanya enggak pernah belajar. Karena takut di-bully karena benjolan di sana-sini, mau enggak mau dia pasti akan belajar. Wohho, seru enggak tuh? Terpaksa belajar dan enggak terasa lama-lama udah pinter dengan sendirinya.
Pinter ngapain?
Yak, pinter ngelempar batu.
Pelajar tawuran biasanya juga sering membajak bus. Ah, elu tong...tong... Enggak modal banget sih! Lo yang punya acara kenapa otw aja nyusahin orang. Atau cuma pengen kelihatan keren doang? Itu bukannya keren tapi malu-maluin. Kentara banget kalau lo terinspirasi di film-film action tapi sayangnya lo enggak pintar acting. Dicegat polisi aja lo langsung berhamburan kayak kecebong kena kencing. Dan kalau ketangkep, eh malah pada nangis.
Apa-apaan itu? Pas lagi pegang samurai aja sangar, tapi di kantor polisi mewek. Jadi, lo preman apa bencong?
Daripada membajak bus, mending lo patungan seribuan nyewa odong-odong aja deh.
Lalu, hampir setiap SMA/ SMK di Indonesia mempunyai kelompok gangster. Yang paling sering masuk berita adalah tawuran gangster di DKI Jakarta. Di sana sedikitnya ada 15 geng dari setiap SMA, yang kabarnya pada tahun 2014 sudah dibubarkan Pak Gubernur, Ahok. Tapi enggak tahu setelah itu beneran udah bubar atau mungkin malah kumat lagi.
Ahok juga pernah mengatakan bahwa kalau mau jadi gangster, di luar negeri saja supaya bisa membunuh dan terbunuh. Kalau mau jadi jagoan, belajar jadi jagoan yang benar di luar negeri, dilatih tinju, jadi gangster, dan diekspor ke luar negeri. Biar enggak cuma ekspor TKI.
Gue setuju banget itu. Yang pada suka tawuran, siapa tahu lo berbakat jadi petinju. Lo bisa mengharumkan nama Indonesia lewat kejuaraan dunia, Men. Bukannya mencoreng nama negeri dengan tawuran setiap hari.
Sering juga yang terlibat tawuran adalah anak pejabat. Mentang-mentang orangtuanya berduit, dia seenaknya aja bebas ngelakuin apa aja. Mau membeli hukum? Yang kayak gitu, enggak peduli pejabat atau orang kaya, orang tua tampak jelas seperti enggak becus mendidik anak, loh.
Bersambung.... 


Image source : http://www.pulsk.com/u/226587

Senin, 25 April 2016

TAWURAN, COY! (Part. 1)




 Apa yang kalian lakukan kalau ngelihat ada ramai-ramai pas lagi di jalan? Kalau gue, biasanya gue samperin, karena gue orangnya memang suka penasaran kalau tahu ada ramai-ramai begitu.
Bahkan pernah suatu ketika ada ribut-ribut sewaktu gue pulang sekolah. Awalnya gue kira itu pertunjukkan topeng monyet. Tapi gue perhatikan kok enggak ada monyetnya. Yang ada malahan hujan batu. Gue langsung menghindar, tapi teman yang kebetulan waktu itu bareng gue lambat bergerak. Jadi, sebuah batu pun mendarat tepat di hidungnya.
“Monyettt!! Anjingg!!!” makinya.
Hah? Gue malah jadi bingung. Dimana ada monyet sama anjing? Terus keramaian tadi itu apa? Emmm, pertunjukan sulap mungkin, ya. Soalnya batu aja bisa berubah jadi monyet sama anjing.
Enggak enggak. Yang terjadi waktu itu adalah tawuran. Pertama kali dalam hidup gue melihat tawuran secara langsung. Sejak saat itu gue paling benci sama yang namanya tawuran. Masalahnya tawuran itu berisik banget, bro. Coba kalau tawuran itu di mode silent atau getar gitu, mungkin masih bisa ditoleransi lah.
Jadi enggak usah pakai teriak-teriak. Kalau lempar-lemparan batu pun usahakan jangan sampai menimbulkan suara. Entah sebelum kena kaca rumah orang lo tangkapin duluan atau gimana lah. Bentar. Ini tawuran apa main kasti, ya?
Lupakan.
Atau ketika itu batu kena ubun-ubun lo, tahan aja sakitnya enggak usah pakai teriak aduh aduh segala. Berisik tauk!
Lalu, tawuran itu juga sering menyakiti orang yang enggak bersalah alias salah sasaran, entah itu sengaja atau enggak. Kayak teman gue tadi, enggak tahu apa-apa eh hidungnya malah ikutan moncrot. Masih untung enggak copot.
Kalau pengen tawuran, harusnya para pelajar itu nyiapin wasit juga. Jadi kalau lemparan batunya keluar garis, prittt!!! Out out!. Kalau sampai kena penonton, prittt!!! Kartu merah!. Enggak boleh ikut tawuran dalam satu musim tawur.
Enggak. Bagaimanapun juga tawuran itu enggak boleh terjadi. Mau lo nyiapin wasit, nyiapin juri, atau nyiapin hadiah pun, tawuran di Indonesia tetap saja selalu merugikan banyak pihak.
Lo tahu di luar negeri? Nyaris enggak ada yang namanya tawuran, men! Apalagi yang pelakunya pelajar. Jadi kasus tawuran pelajar kita itu jadi sorotan duna. Sadar enggak lo?
Di luar negeri, sekalipun ada tawuran, itu enggak bakal terjadi di public area. Kebanyakan di tanah lapang yang jauh dari pemukiman penduduk. Habis itu, tawurannya juga tangan kosong, enggak bawa senjata apapun. Jumlah pemain pun seimbang, enggak ada main keroyokan.
Enggak kayak di Indonesia. Tawuran di jalanan, mengganggu pengguna jalan, bakar ban, bakar motor, ngehancurin sarana umum, ngobrak-abrik orang jualan. Yang dibawa juga batu, beling, pisau, golok, samurai, rantai, bambu, gear, argghhh...
Bersambung....

Image source : http://www.pulsk.com/u/226587

Kamis, 21 April 2016

KARTINI PUN GALAU




Kalau lo kira Pahlawan Nasional nggak bisa galau, lo salah men. Mereka manusia normal, bisa galau juga. Seperti Ibu kita Kartini. Jadi, kebetulan gue baru aja baca sejarah beliau.
Waktu itu tahun 1892. Mungkin itu jaman dimana neneknya nenek gue masih kecil dan jepret-jepretan karet adalah permainan paling keren. Tapi itu nggak penting. Karena yang terpenting adalah, pada masa itu Ibu Kartini baru saja lulus Europeesche Lagere School. Lo tahu itu apa? Itu adalah sekolah dasar untuk orang Eropa yang kebetulan juga berdiri di Indonesia. Nah, galaunya Kartini muda ini karena di usianya yang belum genap 13 tahun, dia sudah diperintahkan ayahnya untuk menjalani pingitan.
Ini masalah besar banget, ya. Ini membuat gue bertanya-tanya, kenapa di situ tertulis usianya belum genap 13 tahun? Sejak kapan angka 13 itu genap, bro???
Enggak enggak. Serius ini masalah. Pingitan, adalah salah satu tradisi Jawa dimana calon pengantin dilarang bertemu dalam waktu 1-2 bulan. Jadi ya cuma diam di rumah saja, nggak boleh keluar apalagi jalan-jalan sambil bawa hape buat selfie segala. Nggak boleh itu. Nggak boleh bertemu orang lain juga selain keluarga. Pokoknya cuma mempersiapkan diri sebelum menikah.
Gue nggak sedang mengatakan bahwa pingitan itu salah, ya. Ada sisi positif yang bisa kita ambil dari tradisi pingitan ini. Tapi masalahnya, Ibu Kartini waktu itu masih muda banget men, 13 tahun! Apalagi beliau ingin sekali melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School (HBS) Semarang. Itu bukan nama restoran cepat saji ya, tapi anggaplah itu SMP. Namun sayang, ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosriningrat tidak mengijinkan.
Kepada Estelle Zeehandelaar, atau yang lebih akrab disapa Stella--pengharum ruangan, eh--seorang aktivis feminis dari Belanda yang menjadi sahabat pena pertamanya, Kartini menceritakan betapa putus asa dia menjalani pingitan yang mengerikan. Beberapa kali juga dia membenturkan tubuh ke dinding batu tebal di sekeliling rumah dan gerbang yang selalu terkunci.
 Jaman segitu sist, lo tahu, susah banget loh nemuin cewek jomblo. Eeitt, jangan seneng dulu. Jadi, cewek baru lulus SD aja sudah disuruh nikah. Jadi beruntunglah kalau lo sekarang jomblo. Kalau sekarang lo lulusan SMA atau kuliah tapi jomblo, bersyukurlah, itu artinya lo memiliki kebebasan untuk memilih laki-laki yang lo cintai. Coba bayangkan kalau lo hidup di masa lalu. Lo dipaksa menikah secepatnya oleh orang tua lo dengan orang yang belum lo kenal, yang istrinya udah tiga atau empat sehingga lo jadi nomor sekian. Lo nggak boleh sekolah tinggi-tinggi, yang bisa namatin SD aja itu udah dianggap hebat.
Jadi bayangkan kalau nggak ada tokoh emansipasi wanita seperti Ibu Kartini, yang berarti nggak ada gerakan perubahan, lo nggak bakal bisa menikmati kejombloan lo yang saat ini sist.
Jomblo itu lebih nikmat daripada menikah dengan orang yang nggak lo cintai. Betul? Oh, gue tahu. Lo pengennya cepat punya pacar atau menikah dengan orang yang lo mau kan? Bisa sih... bisa...Tapi sayangnya, ini dunia milik bersama bukan milik nenek lo, jadi nggak setiap keinginan lo bisa terkabulkan. Hahha.
Then, kalau kemudian lo bertanya apakah setelah menikah Kartini nggak galau lagi? Emm, gue nggak tahu pasti, ya. Cuma begini, seandainya Ibu Kartini sekarang masih hidup, beliau galaunya tambah parah. Masalahnya, emansipasi malah sering disalahgunakan. Kebebasan bagi wanita untuk menempuh pendidikan tinggi malah disalah arti. Bukannya belajar tapi malah...
Ya... banyak lah hal-hal yang seharusnya nggak lo lakukan malah lo lakukan.
Misalnya satu berita fatal yang bikin mata gue gatal karena mahasiswa-mahasiswa bengal tingkat krusial. Di Pamekasan, Jawa Timur, malam Minggu lalu (16/04/16) warga setempat menangkap pasang muda-mudi yang berbuat mesum di masjid. Mereka berstatus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Pamekasan.
Ebusettt!!!
Setan model apa coba yang berani bisikkin mereka supaya ngelakuin begituan di tempat ibadah? Atau mungkin nggak ada setan sih, karena mereka sendiri sudah terlalu setan untuk kesetanan. Dan, mahasiswa loh... seharusnya berpendidikan. Tuh, kan? Diberi kebebasan belajar lebih lama malah belajar yang enggak-enggak!
Oke, sudahlah. Kita harus keep positif thinking. Anggap saja rencananya habis begituan mereka mau langsung tobat bareng-bareng. Iya. Anggap saja begitu. Sudah, jangan berpikir negatif sama anak setan. Sudah, kayak nggak berperikesetanan saja.
So, kesimpulannya... syukuri dan hargailah perjuangan para pahlawan yang sudah membawa perubahan terbaik untuk negeri kita ini. Jangan sampai mereka galau di alam sana karena ngeliat kelakuan lo yang macam kadal itu.
Pesen gue, jadilah Kartono Kartini masa kini yang baik-baik. Dan cari semak belukar kalau mau berbuat mesum. Kalau perlu yang dekat hutan. Gue doain semoga kalian lebih hangat berdua dalam perut macan.
Gue Ken Patih, selamat malam. 

Image source : http://m.solopos.com/2015/04/21/trending-sosmed-inilah-kumpulan-meme-lucu-hari-kartini-596864